Awal tahun 80-an mestinya mal belum berserak seperti sekarang. Di Jakarta sekalipun. Ayah lagi pendidikan di perguruan tingginya polisi masa itu. Bertiga dengan 2 adikku, Ayah bawa kami ke tempat yang seumur 8 tahun hidupku belum pernah kulihat di Gresik dan Surabaya.
Kata-kata Ayah terekam di kepalaku, “Ini pasarnya orang kaya.”
Pikiran anak-anakku merekam hari itu sebagai pertanyaan besar yang percaya nggak percaya menentukan arah hidupku:
‘Kenapa harus orang kaya?’
Sejak hari itu, tiap kali aku nemu seseorang atau sesuatu yang bisa mbuktikan it’s not about how rich you are, mataku langsung Mak Byar! Nyala seperti neon.

Sonya misalnya. Teman kos kemudian murid yang sudah kuanggap adik. Aku tahu dandanannya semasa kuliah. Dia bukan anak orang kaya yang sanggup beli tren. Selalu dengan jeans dan kemeja. Setelah kerja barulah aku melihatnya bertransformasi jadi a work of art who stands out in the crowd.
Jangan salah. Sampai sekarang aku nggak pernah lihat dia pakai perhiasan emas, berlian, mutiara atau akik. Juga nggak pakai make-up kecuali ke kondangan atau acara resmi. Setelah jadi dosen kurang dari setahunan ini aja aku lihat dia berlipstik tiap hari. Itu pun warna-warna natural. Rambut keriting panjangnya nggak pernah sekalipun dipotong ikut tren, diwarnai atau di-rebonding. Meski sekarang dia punya barang-barang branded, bisa kupastikan bukan itu modalnya meng-upgrade penampilan.
Modalnya?
Dia nggak pernah keluar rumah tanpa aksesoris. Entah itu gelang, anting, kalung, cincin, selendang, scarf atau kombinasinya. Karena dia pengagum barang-barang etnik, aksesoris pilihannya terbuat dari kayu, serat tumbuhan, kulit kerang, batok kelapa, manik alam sampai manik plastik. Aksesoris dari kain juga selalu yang bermotif etnik. Sampai beberapa tahun lalu Sonya masih setia dengan jeans. Suatu hari dia ngantor dengan blus obralan seharga Rp7.500. Dia yang pakai, dipasangkan dengan jeans, ditambah aksesoris pilihannya, kita nggak akan nyangka.

Sonya perempuan yang membuktikan bahwa aksesoris murah bisa lebih bagus dari perhiasan emas. Kalau aku nganjurkan perempuan untuk ngoleksi emas, itu karena nilai investasinya, bukan karena kemampuannya memperindah perempuan. Dia juga yang membuktikan penampilan indah, menarik, presentable bukan soal tren, bukan soal branded nggak branded. Jauuuuuuuuuh lah dengan Syahrini.
Dia kasus Mak Byar! keduaku. Sonya, bukan Syahrini.

Kasus pertamaku kutemukan di diriku sendiri, setelah jadi guru Bahasa Inggris.
Aku naik dari tutor golongan 2A langsung ke golongan 3A (meloncati 2B) dalam waktu setahunan di kursusanku yang pertama dan mbangun reputasi sebagai tutor A-List dengan honor tertinggi (padahal nggak blast
). Jadi principal tutor untuk program TOEFL, ESP (English for Specific Purposes) dan in-company training di kursusanku yang kedua. Terpilih sebagai presiden salah satu Toastmasters Club di Surabaya. Jadi interpreter lepas di acara peluncuran program salah satu sub-agen PBB dan training/studi banding yang diadakan British Council di Surabaya. Semua yang ngasih aku reputasi keren di bidang pelatihan informal Bahasa Inggris.
Aku bosan ditanya’i belajar Bahasa Inggris dimana. Nggak sedikit yang kaget begitu tahu aku bukan bentukan Sastra Inggris dan nggak pernah kuliah di luar negeri. Rupanya Bahasa Inggrisku terlalu ‘wah’ buat kelas guru kursusan lokal nggak terkenal.
Dan bapakku bahkan nggak pernah ngeluarkan uang untuk kursus Bahasa Inggris kecuali satu kursus conversation intensif 1 bulan yang kuhadiri 8 kali semasa kuliah, 4 tahunan sebelum ngajar, yang terbersit pun nggak kalau aku akan jadi guru les Bahasa Inggris selama hampir 12 tahun dan berjodoh dengan salah satu murid privatku.
Life.

Seperti siapa yang ngira kasus Mak Byar! ketigaku bakalan kutemukan selama nunggui ibuku yang bolak-balik masuk rumah sakit karena gagal ginjal? Aku bahkan nggak ingat gimana awal ceritanya. Yang jelas aku nemu situs majalah Better Homes & Gardens (BHG) di internet terus langganan newsletter gratisannya dan takjub lihat foto-fotonya. Beberapa bikin aku tercengang saking tergugahnya. Ada yang bikin mataku bersinar, ada yang bikin tersenyum; semua bikin aku lupa sama masalah hidup.

Kalau ada yang merasa kata-kataku di atas berlebihan berarti dia belum pernah sekalipun ketemu sama yang namanya passion. Perasaanku lihat foto-foto BHG belum seberapa dibanding efek passion ngajar Bahasa Inggrisku.
Tahun 2012 betisku digigit Tomcat. Waktu itu wabah Tomcat belum masuk TV. Sama dokter aku dikasih salep untuk serangga biasa yang malah memperparah infeksi. Luka yang yang tadinya seujung jempol jadi selebar telapak tangan. Yang tadinya di betis, nambah di paha belakang dan bernanah. Nyerinya ya Allah…
Karena aku merasa sudah dilihat dokter, aku tetap ngajar. Aku ingat gimana selama 1,5 jam, di kelas conversation di kantornya Sonya, nyeriku itu hilang!

Jadi aku merasa perlu berbagi foto-foto yang menggugah jiwaku itu. Kalau toh efeknya nggak sama menginspirasinya seperti pada guru Bahasa Inggris satu ini, paling nggak bisa membuktikan bahwa gaya hidup yang stylish bukan cuma yang bisa dibeli dengan uang.
Akan selalu kuingat yang pernah kubaca di newsletter BHG:
“Invest your time and energy in your home, not your money.”

Setelah hampir seumur hidup bertanya-tanya, apa harus kaya dulu untuk punya rumah bagus, akhirnya ada yang bisa jawab: Nggak kok.
Wajahku sudah lama berpaling dari mal, TV dan gaya hidup yang ditawarkannya tapi dulu aku nggak punya anti-thesis, yang bisa ngasih aku gaya hidup alternatif, sampai nemu majalah BHG itu tadi. Sekarang wajahku menghadap ke Pinterest, nama besar di dunia blogging seperti Prodigal Pieces dan The Handmade Home; situs populer seperti Apartment Therapy dan Hometalk; dan brand besar yang nggarap free online content-nya dengan sungguh-sungguh seperti Martha Stewart dan BHG.
Mereka yang ngajari aku bahwa perempuan pintar dan kreatif yang memusatkan hidupnya di rumah lah yang bisa membangun gaya hidup yang nggak bersandar pada purchasing power tapi tetap high-output. Dia nggak harus 24/7 di rumah atau mengerjakan semua pekerjaan rumah tangganya sendiri tapi mutlak harus pintar dan kreatif.
And that is the beauty of housewifing. A smart woman makes a smart home. Makin banyak waktu dan energi yang dia taruh di rumahnya, makin makmur juga rumah tangganya.
Di post berikutnya akan kutunjukkan hal kecil berefek besar yang sepertinya hanya bisa dilakukan oleh perempuan yang ‘di rumah saja’ sepertiku.
Jangan minder hanya karena terpaksa atau sukarela jadi ibu rumah tangga. Pastikan aja kita termasuk dalam golongan ibu rumah tangga pintar. Makin banyak asam-garam hidup yang harus kutelan, makin tua umurku, makin sulit bagiku menyangkal bahwasanya kemuliaan seorang perempuan ada di rumah dan rumah tangganya.

-Rinda-
Suka!
Kalau ini Yessi–teman sekamar yang jago masak.
Makasih, Yes.. :-)
Aku baca – baca lagi, karena mau pindah lagi pingin punya rumah di atas rata – rata juga, terima kasih Mi.
Bisa, bisa, Mi: Rumah Hijau Rendah Biaya! Rumah hijau-nya orang Barat mahal..
Ah, mbak.. Aku jadi semangatttt…